May 7, 2011

KISAH PULAU BAWEAN


Cerita Orang Pajinggahan Tentang Batu Kerbau


Ditulis oleh: Zaini bin Sairi  Pejinggahan.

Mari kita sama sama ikuti cerita ini...

.Pada suatu ketika dahulu semua orang Bawean pasti teringin untuk berkunjung ke batu kerbau (batu sarapong) yang terletak di laut Kampung Pajinggahan. Apa tidaknya, karena batu tersebut banyak cerita misterinya.

Pada tahun 70-han ada seorang yang cuba untuk mendirikan (pecat) di batu tersebut, setelah pecat itu didirikan Kampung Pejinggahan ketika itu kurang aman, suasana seram dan menakutkan..

Karena penduduk di kampung tersebut banyak yang diserang penyakit malaria penyakit yang boleh dikata sukar diobati, saya sendiri tidak terkecuali diserang penyakit itu. Dan kebanyakan orang yang diserang penyakit tersebut hingga membawa mati Sampai dua hingga tiga dalam waktu sehari ada orang meninggal dunia di Kampung Pajinggahan disebabkan penyakit malaria.

Semua orang kampung jadi bingung, karena penyakit malaria yang amat teruk hanya terjadi di Kampung Pajinggahan. Bapak dukun, ahli Nujum, dan pak Kiai masing-masing bingung, mencari jawapan!! …… akhirnya maka datanglah mimpi kepada seseorang namanya tidak perlu disebutkan, yang mana mimpi tersebut, menyuruh untuk merobohkan pecat yang didirikan di batu kerbau itu. Selesai saja pecat itu dirobohkan maka penyakit malaria tiba-tiba hilang dari Kampung Pajinggahan. Dan kebanyakan orang yang sakit dikena malaria beransur pulih.





Kenapa orang sebut batu kerbau itu batu sarapong???
Ceritanya begini!!!
Waktu dulu batu kerbau itu ada kejadian ajaib, yang mana saya sendiri pernah melihat kejadian itu. diwaktu itu saya pergi kelaut memancing ikan, saya memang gemar memancing ikan apabila saya lihat sebahagian batu itu ada yang bergerak gerak...Kalau musim angin timur dengan jelas telihat, ada sebuah batu yang terapong disebelah barat, dan kalau musim barat pula batu tersebut terapong disebela timur. Atas sebab itulah kemungkinan batu itu disebut batu sarapong, kerana perkataan tersebut hampir sama bunyinya dengan perkataan terapong. Namun kini batu tersebut telah hilang berpinda kesatu tempat, sampai sekarang tidak ada seorangpun yang menemukan tempatnya.
Petikan artikel...
Bawean di peta Indonesia cuma setetes noktah di Laut Jawa. Banyak penduduk dari pulau berjarak 150 kilometer di utara Gresik, Jawa Timur, ini merantau ke Malaysia, Singapura, dan Pulau Christmas, Australia. Menjelang Lebaran sampa
i sepanjang Syawal, kiriman ringgit dan dolar deras mengguyur pulau ini yang bila dikurskan bisa mencapai angka miliaran rupiah.
Transaksi sehari-hari di sana bisa menggunakan dolar. Membeli nasi goreng di warung bisa menggunakan dolar, membayar ongkos becak pun bisa dengan dolar. Ikuti laporan wartawan majalah Tempo dari Bawean, pulau yang warganya berseloroh, jalan-jalan lebih baik dinamakan Jalan Mr. Mahathir, Jalan Lee Kuan Yew….
Setiap detik, noktah hitam di tengah laut itu bertambah besar. Menjelang senja, tatkala langit Bawean masih merah tembaga, jelaslah bahwa noktah itu sebuah kapal motor penumpang. Kapal motor Harapan Sumekar berangkat dari pelabuhan Gresik, Jawa Timur. Kapal jenis buka-tutup dek (roro, roll on roll off) itu segera merangsek ke dermaga.
Laut masih memisahkannya. Namun mereka yang di atas kapal dan penjemput di daratan sudah saling melambaikan tangan. Tak berselang lama, kapal menyentuh bibir dermaga pas jadwal. Tiga jam setengah kapal menuntaskan pelayarannya menembus Laut Jawa.
Hari itu, sepuluh hari menjelang Lebaran, sekitar 150 penumpang turun dari kapal. Suasana di pelabuhan kontan riuh-rendah: pelukan hangat sanak kerabat, juga ratusan barang yang mereka bongkar. Aneka kardus dan karung berisi gula, telur, garam, beras, dan kebutuhan pokok lainnya mereka angkut ke pelabuhan. Derek pun ikut membantu, mencangking satu per satu puluhan sepeda motor kinclong belum berpelat nomor.
Terakhir, awak kapal menurunkan dua Daihatsu Xenia hitam gres keluaran dealer di Surabaya. ”Ini oleh-oleh yang kamu minta,” kata Mudhofir, 40 tahun, kepada tiga saudaranya.
Pria berperawakan tinggi besar dan berkulit legam ini pemegang kartu identitas penduduk Singapura. Tapi ia juga masih ber-KTP Bawean. Ia adalah kapten sebuah kapal penangkap ikan yang beroperasi dari Singapura. Anak dan istrinya ia boyong ke Negeri Singa ini. Telah 15 tahun ia menetap di sana. Dia adalah potret perantau Bawean yang sukses di negeri orang dan kini mudik ke kampung halaman.
Bawean berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti masih ada sinar. Pulau dengan luas sekitar 200 meter persegi dan berdiameter 12 kilometer ini dilingkari jalan sepanjang 70 kilometer. Mirip sebentuk titik terombang-ambing gelombang Laut Jawa dalam peta Indonesia. Ia berjarak sekitar 150 kilometer di utara Pulau Jawa dari titik Surabaya atau Gresik. Secara administratif, pulau berpenduduk sekitar 70 ribu jiwa ini masuk wilayah Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Di sana, ada dua kecamatan, Sangkapura dan Tambak. Bahasa sehari-hari mereka Bawean, mirip bahasa Madura. Inilah penduduk yang 90 persen lelakinya merantau ke luar negeri dan luar pulau. Itulah sebabnya banyak orang berseloroh, Bawean adalah pulau putri, karena yang tinggal di sana kebanyakan perempuan.
Malaysia dan Singapura adalah tujuan utama perantau Bawean. Di dua negara jiran ini, orang Bawean disebut Boyan dan telah menjadi komunitas sendiri. Ada juga yang ke Australia. Sebagian lagi berdiam di kota-kota besar di Jawa seperti Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta.
Tak ada catatan pasti berapa jumlah imigran Bawean di luar negeri. Tokoh masyarakat Bawean yang juga Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama, Syariful Mizan, mengungkapkan bahwa saat ini setidaknya terdapat 120 ribu lebih orang Bawean yang berada di Malaysia, 80 ribu di Singapura, dan sekitar seribu orang tersebar di beberapa negara lain. ”Lebih banyak orang Bawean di luar negeri ketimbang di Indonesia,” katanya.
Mereka mewarisi jiwa perantau tradisional yang terbangun turun-temurun, entah sejak kapan. Mereka inilah yang menurut kacamata administrasi modern, pendatang ilegal di negeri orang. ”Kami tidak tahu berapa jumlah warga yang merantau. Mereka melalui perantara, orang-orang Bawean yang sudah menetap di sana,” kata Camat Sangkapura, M. Suhaimi.
Coba masuk ke rumah tangga Bawean. Bisa dipastikan, paling tidak satu dari anggota keluarga mereka pernah tinggal di luar negeri sebagai TKI. Mereka kebanyakan bekerja di sektor properti untuk tenaga kasar atau kuli. Sebagian lagi berdagang. Adapun sejumlah orang lainnya menjual jasa sebagai cukong atau pengawal TKI—mereka ini bisa sepekan dua kali menjejakkan kaki di Malaysia atau Singapura. Mereka bagian dari mata rantai yang memutar ringgit dan dolar masuk Bawean.
l l l
Turun dari kapal, Mudhofir langsung mengendarai mobil terbarunya. Ia meluncur ke rumah orang tuanya di Desa Daun, Sangkapura. Dalam perjalanan, ia mendengar belanggur atau mercon raksasa berdentum menggelegar. Suara itu berasal dari depan Masjid Jamik Sangkapura. Saban petang selama Ramadan, belanggur adalah rujukan terpercaya saat untuk berbuka puasa warga Bawean.
Mudhofir bersama empat kerabat yang menyertainya berhenti di depan warung nasi goreng Jawa untuk membatalkan puasa. Sebelum makan, Mudhofir ingat, di kantongnya tidak ada uang rupiah. Yang ada dolar Singapura. Rupiahnya habis untuk ongkos kapal dan sejumlah keperluan di Surabaya sebelum berlayar ke Bawean. ”Apa bisa pakai dolar Singapura?” tanya dia ke penjual nasi goreng dalam bahasa Bawean.
Si penjual nasi goreng, Makrus, 36 tahun, tidak menjawab. Ia tetap merunduk karena tangan dan perhatiannya sibuk menggoreng nasi pembeli lain. Tapi pria asal Mojokerto ini mendengar pesanan mereka. Empat nasi goreng dan empat es degan pun segera tersaji. Mereka makan lahap dan tubuhnya pun mulai segar kembali setelah sehari berpuasa. Seusai makan, Mudhofir bertanya ongkos makan. ”Nasi goreng dua puluh empat ribu rupiah atau empat dolar. Minumnya satu setengah dolar dan gorengannya setengah dolar. Jadi semua enam dolar,” katanya.
Mudhofir lantas mengambil tiga lembar pecahan dua dolar Singapura dari dompet tebalnya. Bagi Makrus dan istrinya, Muslihah, 30 tahun, yang asal Madura, bertransaksi menggunakan dolar Singapura, dolar Amerika, dan ringgit Malaysia bukan hal asing. Ia mendapat pengetahuan kurs uang dari omongan tetangga kiri-kanan. Saking biasanya dolar Singapura dan ringgit Malaysia menjadi alat tukar di Bawean, ia pun hafal luar kepala berapa konversi ke rupiahnya. Dolar Singapura yang kini kursnya berkisar Rp 5.800 ia bulatkan menjadi Rp 6.000 agar tak merepotkan hitungan.
Jual-beli menggunakan mata uang asing lazim di Bawean. Para perantau, yang umumnya pulang dari Malaysia dan Singapura, biasa membawa mata uang asing ke pulau ini. Kios rokok pun menerima transaksi menggunakan ringgit dan dolar. Bahkan penarik becak siap pula menerima mata uang asing tadi.
Hampir semua toko di Bawean merangkap jasa penukaran uang. Tidak ada agen resmi penukaran uang asing di Bawean, kecuali Bank Jatim, satu-satunya bank yang ada di pulau itu. Bank Jatim Cabang Bawean mencatat uang kiriman TKI ini per bulannya Rp 5 miliar. Menurut bagian layanan nasabah Bank Jatim Cabang Bawean, Suyoto, sejak bank ini berdiri di pulau ini pada 2001, kiriman paling sedikit per bulan bernilai Rp 3,5 miliar. Menjelang hari raya Idul Fitri, angka itu mencapai Rp 8 miliar.
Tapi Syaiful, saudagar Bawean, yakin bahwa uang masuk ke Bawean dari luar negeri lebih besar daripada yang ditaksir bank. Banyak pemasukan ke Bawean mengalir tidak melalui bank, tapi melalui kurir atau pengawal. Ia menaksir uang yang dititipkan kurir per bulan ke Bawean bisa mencapai sekitar Rp 5 miliar. Perhitungan ini didasarkan pada jumlah pengawal (cukong) di Bawean yang minimal mencapai 250 orang. Jika seorang pengawal dipukul rata membawa uang masuk ke Bawean sebulan Rp 20 juta, ini berarti uang yang mereka bawa masuk Rp 5 miliar. ”Padahal ada sejumlah pengawal yang bisa membawa uang masuk Bawean hingga ratusan juta per bulan,” tuturnya.
Jumlah uang dari luar negeri ini jauh lebih besar ketimbang anggaran pemerintah Indonesia untuk Bawean yang hanya Rp 1,5 miliar per bulan. Karena itu, jangan heran jika pembangunan jalan antardesa di Bawean dibiayai dengan dana hasil urunan TKI. Jalan belasan kilometer dari Desa Gunung Teguh, desa di wilayah dalam Bawean, menuju ibu kota, yang menghabiskan ratusan juta rupiah, juga dari uang TKI.
Orang di sana pun berujar, itulah ”Jalan Mahathir” dan ”Jalan Lee Kuan Yew”, nama perdana menteri Malaysia dan Singapura ketika jalan itu diaspal dan diblok semen. ”Tidak ada Jalan Soeharto, Gus Dur, Megawati, atau SBY di Bawean,” ujar Ridwan, warga Lebak Bawean. Desa, melalui rapat tokoh dan pemuka desa, mengutip sejumlah uang dari TKI untuk membangun madrasah, balai desa, sekolahan, pesantren, dan masjid atau musala. Di pedesaan wilayah tengah Pulau Bawean ini, berdiri megah masjid senilai Rp 1 miliar. Itu semua dibangun dari uang hasil keringat TKI di Malaysia dan Singapura.
l l l
Sebagian orang Bawean suka menabung dalam bentuk koin emas. Ada tiga jenis koin emas yang mereka buru. Uniknya, uang logam berbahan emas itu adalah mata uang Amerika Serikat keluaran awal tahun 1900-an. Jenis pertama, koin emas seukuran receh Rp 500 yang mereka beri nama ”okon”. Jenis kedua, koin yang mereka sebut ”rupeah” pake ”e” bukan ”i” untuk membedakan dengan rupiah. Koin ini berukuran dua kali lebih lebar dibanding okon. Yang ketiga lebih besar dua kali lipat dari rupeah, yang mereka namai ”ringgit”.
Yakub, pemilik toko emas di Bawean, menuturkan bahwa berat okon 8,3 gram atau setara dengan Rp 1,65 juta. Rupeah 16,6 gram atau senilai Rp 3,3 juta, dan ringgit memiliki berat 33,2 gram atau jika dirupiahkan Rp 6,6 juta. Koin ini biasanya untuk jual-beli tanah dan rumah. Selain itu, mereka memodifikasinya menjadi perhiasan.
Entah mulai kapan orang Bawean keranjingan koin emas. Yang pasti, perempuan Bawean menggunakan perhiasan emas sebagai hal yang biasa saja. Tidak sekadar saat pesta, tetapi juga ke pasar dan untuk kegiatan apa pun asal keluar dari rumah. ”Banyak perempuan Bawean menggunakan koin emas untuk kalung, gelang, bros, dan hiasan kancing baju. Mereka tidak pamer, tapi perempuan ya harus begitu, pakai emas,” kata Yakub.
Tak sedikit rumah di Bawean berkualitas rumah Pondok Indah Jakarta. Di sekeliling pulau tidak akan dijumpai rumah berwajah miskin. Semua telah berdinding tembok. Di atas atap rumah, pasti ada parabola. Ada banyak rumah yang memasang dua parabola agar lebih banyak menangkap siaran televisi dunia. Maklum, tidak ada televisi berlangganan. Antena televisi biasa tak mampu menangkap sekadar siaran televisi nasional.
Bergelimang uang kiriman juga mengakibatkan sebagian anak muda Bawean malas bekerja. Mereka menunggu kiriman uang dari luar negeri sembari nongkrong di kedai. Pencurian dan kejahatan lain hampir tidak terdengar. Yang kerap jadi gunjingan adalah justru perselingkuhan. ”Maklum, Mas, ini pulau putri. Lelakinya pada merantau,” ujar Yakub.
Menurut Yakub, kisah perantauan Bawean tak akan kering selama perekonomian Malaysia dan Singapura masih memikat. Pulau ini, kata dia, seolah tak peduli bahwa ia menjadi bagian dari Indonesia. Selama masih ada cahaya, ringgit dan dolar tetap berkilau di Bawean.
Sunudyantoro, Rohman Taufiq
Balada Para Tekong
Kurir pengantar uang adalah pekerjaan yang tak bisa digusur oleh bank di Bawean. Tugasnya banyak, termasuk memastikan calon TKI mendapatkan pekerjaan di negeri orang.
Logat Malaysia Salikin, 48 tahun, begitu kental. Padahal ia orang Bawean asli. Ia satu dari setidaknya 250 kurir pengantar uang, biasa disebut tekong, di Bawean. Menjual jasa sebagai tekong telah membuat hidup Salikin berpijak di dua negara. Dalam sebulan, 15 hari ia berada di Bawean dan 15 hari di Malaysia.
Munculnya pekerjaan kurir itu lantaran sebelum tahun 2001 di Bawean tidak ada bank. Seluruh uang keringat tenaga kerja Indonesia yang masuk Bawean dari luar negeri mengucur melalui tangan kurir-kurir. Sejak 2001, Bank Jatim berdiri di ibu kota Bawean, Sangkapura. Namun ini tak serta-merta menggantikan fungsi tradisional para kurir mentransfer uang itu. ”Masih banyak TKI yang memilih pengawal untuk mengantar uangnya ke kampung,” kata Salikin.
Kurir, kata Salikin, akan mendapat upah 10 persen dari seluruh uang yang dibawanya masuk. Pekerjaan menjadi tekong ini tetap bertahan—karena mereka bukan sekadar membawakan uang. Mereka sesungguhnya merangkap pengawal. Mereka berkewajiban membiayai seluruh keperluan TKI sejak di Bawean hingga masuk Malaysia atau Singapura. Mereka harus memastikannya mendapat pekerjaan di negeri tetangga itu. Selama TKI belum bekerja, mereka harus membiayai dan menjaga hidupnya di luar negeri dan memberi ongkos hidup sehari-hari anak-istrinya yang ditinggalkan.
Kalaupun si TKI sudah bekerja tapi belum bisa mengirim uang ke Bawean, keperluan hidup keluarga TKI itu ditanggung kurir. Tentu ini semua dikalkulasikan sebagai utang. Satu-dua bulan setelah TKI bekerja dan mendapat upah, si kurir menagih cicilan utang tadi ke Malaysia atau Singapura. Ia pulang seraya membawakan uang TKI untuk keluarga di Bawean. Upah jasa pengawal 10 persen itu adalah hasil kesepakatan umumnya di Bawean. ”Biasanya mereka menelepon terlebih dulu kalau mau kirim uang,” kata Salikin.
Salikin mengungkapkan, ongkos untuk mengirim TKI dari Juanda, Surabaya, ke Kuala Lumpur Rp 5 juta. Jika bertolak dari Batam: Rp 4,5 juta. Rinciannya, Rp 2 juta plus 600 ringgit (sekitar Rp 1,6 juta) untuk uang jaminan selama di Malaysia; sisanya untuk tiket pesawat pulang-pergi dan perjalanan darat selama di Indonesia dan di Malaysia. Ongkos ke Singapura juga sama, tapi uang jaminannya seribu dolar Singapura atau sekitar Rp 6 juta.
Sebagian besar orang yang diantar kurir-kurir ini adalah tenaga kerja ilegal. Untuk masuk Singapura, demi meyakinkan pihak Imigrasi, menurut Salikin, baik kurir maupun TKI harus berpenampilan rapi. Rambut gondrong alamat ditolak. Pengawal lain, Rahim, warga Desa Sungai Teluk, Bawean, mengisahkan, banyak TKI masuk Malaysia dan Singapura menggunakan visa pelancong.
Para kurir memiliki banyak trik untuk menyiasati aparat Imigrasi Malaysia dan Singapura. Biasanya mereka meminta orang Bawean yang sudah memiliki kewarganegaraan Singapura atau Malaysia untuk menjemput. Rahim menggambarkan pekerjaan para kurir merangkap pengawal ini berlangsung rapi. Mereka telah menyiapkan siapa yang akan menjemput. Tukang ojek atau taksi pun tidak sembarangan.
Untuk upah jasa memasukkan TKI yang baru pertama kali ke Singapura atau Malaysia, ada kesepakatan umum: kurir mendapat Rp 1 juta. Untuk TKI yang berpengalaman, tarifnya seikhlasnya. Kisarannya paling tinggi Rp 1 juta juga. Untuk membawa kiriman berbentuk barang melalui Bandar Udara Juanda, Surabaya, kurir memungut biaya 20 ringgit Malaysia per kilogram. Jika melalui Batam, dikenai 10 ringgit per kilogram. Dalam sebulan, seorang kurir bisa membawa uang TKI masuk ke Bawean setidaknya Rp 20 juta. Jika sedang ramai, bisa hingga seratus juta, bahkan lebih.
Rata-rata kurir di Bawean pernah menjadi tenaga kerja di Malaysia. Salikin, misalnya, dari 1980 hingga 2001 bekerja di Malaysia. Selama masa itu, ia telah berulang kali pulang-balik ke Bawean. Karena itu, seluk-beluk Malaysia dan orang-orangnya cukup ia kenal. Kurir seperti Salikin umumnya ber-KTP ganda: Indonesia dan Malaysia.
Pada kartu identitas tanda penduduk Malaysia, alamatnya di Kampong Paya Jaros Dalam, 47000 Sungai Buloh, Selangor. Ia juga menambah nama belakangnya dengan nama bapaknya, Sadli, agar namanya mirip cara penamaan di Malaysia. Tak hanya itu, ia pun memegang lisensi mengemudi di Malaysia. Rezeki menjadi kurir ini membuat Salikin hidup berkecukupan di Bawean bersama istri dan lima anaknya. Sebuah gerai telepon seluler dia miliki. Dan sang istri mengelola kios bahan kebutuhan pokok di pasar Sangkapura.
Sunudyantoro, Rohman Taufiq
Rezeki dari Pulau Christmas
Di Bawean ada sebuah kampung yang kebanyakan warganya merantau ke Pulau Christmas, Australia. Seratus warganya telah menjadi warga negara Australia.
Lokasi pulau milik Australia itu lebih dekat ke Jawa. Ya, Pulau Christmas adalah sebuah titik di Lautan Hindia. Dari selatan Jawa Barat pulau ini berjarak 360 kilometer. Waktu tempuhnya dari Jakarta kurang dari satu jam penerbangan. Sedangkan dari Perth, ibu kota Australia Barat, Pulau Christmas justru berjarak 2.650 kilometer.
Pulau Christmas, ke sanalah sebagian dari warga Bawean mengadu nasib. Ada sebuah desa di Bawean yang kebanyakan warganya merantau ke pulau itu. Desa itu bernama Lebak. Letaknya di Kecamatan Sangkapura, Bawean.
Datang ke sana, Anda akan tercengang melihat di tengah desa berdiri sebuah masjid megah. Masjid itu bernama Masjid Jamik Al-Ikhram. Kubahnya kuning. Sebagian bangunan masjid berlapis marmer. Bangunannya mendapat sentuhan arsitektur Eropa. Masjid itulah lambang keberhasilan warga Desa Lebak di Australia.
Kepala Desa Lebak, Dufah, mengatakan bahwa 100 warga Lebak kini bukan sekadar TKI yang bekerja di Pulau Christmas. Mereka telah menjadi warga negara Australia. Sebagian dari mereka beranak pinak dan menetap di sana. Mereka membentuk komunitas Bawean di Pulau Christmas. ”Mereka yang mengirim uang ke kampung halaman,” katanya.
Sejumlah tetua desa yang dijumpai Tempo menuturkan, hubungan desa itu dengan Pulau Christmas bermula dari tahun 1960-an. Pada 1960 ada seorang pemuda desa bernama Miftah (kini telah meninggal) merantau ke Pulau Christmas. Di sana pemuda Miftah bekerja di pertambangan emas. Jutah, 55 tahun, anak tertua Miftah yang masih tinggal di Bawean, berkisah bahwa beberapa tahun kemudian bapaknya pulang sementara ke Bawean. Lalu Miftah menikahi perempuan bernama Nasifah, ibunda Jutah. Miftah memboyong istrinya merantau ke sana. Tak lupa, Miftah mengiming-imingi tiga temannya, Dofir, Majid, dan Marzuki, sehingga kepincut bekerja di Australia. ”Inilah awal mula kejayaan orang Lebak Bawean di Australia,” kata Jutah.
Miftah, seperti orang Bawean kebanyakan, adalah pemeluk Islam taat. Kolega dia di pertambangan emas Pulau Christmas juga mempekerjakan orang Malaysia dan Brunei yang beragama Islam. Namun, karena Miftah dipandang paling menguasai Islam dibanding yang lain, ia pun diangkat menjadi imam salat di masjid kawasan pertambangan. Ia dan tiga temannya tadi dipercaya menjadi takmir (pengurus masjid) salah satu masjid di Pulau Christmas.
Komunitas muslim di Christmas selanjutnya mempercayai Miftah untuk mencari muazin (penyeru azan) dan takmir (pengurus) untuk masjid lainnya. Pilihan Miftah pun tak jauh-jauh; ia mendapatkannya di antara sanak kerabat dan tetangganya di Lebak Bawean. Maka beramai-ramailah pemuda Lebak kala itu bermigrasi ke Pulau Christmas. Sebagian dari mereka menjadi juru dakwah. Seorang warga Bawean bernama Ghufron, kata Jutah, bahkan menjadi penghulu terkenal di Christmas. ”Hampir semua muslim Christmas Island mengenal dia,” katanya.
Dulu, pada 1960-an hingga awal 1990-an, para perantau Bawean di Australia mudik jika Lebaran tiba. Kini sebagain besar mereka telah menetap di Pulau Christmas. Dan tradisi mudik pun sedikit luntur. Jutah pun bermohon maaf dengan sanak keluarga di Pulau Christmas lewat telepon tahun ini. Kisah pemuda Lebak pulang mudik membawa dolar Australia pun tak seheboh dulu.
Sunudyantoro, Rohman Taufiq
Diaspora Orang-orang Boyan
Orang Bawean masuk Singapura sejak awal abad ke-19. Kini ada program siaran berbahasa Bawean pada radio pemerintah, ada penerjemah bahasa Bawean di pengadilan.
Mereka menyebutnya Boyan. Apa boleh buat, kata Ba-we-an terlalu sulit dilafalkan oleh lidah orang Eropa dan Cina di Singapura dan Malaysia.
Di Malaysia, komunitas Bawean tinggal di Lembah Klang, di antara Kuala Lumpur dan Selangor—dari kawasan Ampang, Gombak, Balakong, sampai Shah Alam. Mereka membeli rumah dengan cara patungan, seraya mendirikan rumah-rumah mirip rumah teras (terrace) berkelompok-kelompok.
Di Pulau Penang, ada dua keluarga besar Bawean tinggal di daerah Gelugor. Orang Bawean di Malaysia umumnya bekerja sebagai tukang dan kuli bangunan. Ada juga yang membuka toko kebutuhan sehari-hari, di samping menjadi subkontraktor proyek bangunan gedung. Mereka dikenal sebagai orang yang rajin dan gigih bekerja. Tak sedikit pula yang menjadi sopir dan tukang kebun.
Dua tokoh Persatuan Bawean Selangor, Ahmad Hassan dan Mas’od Zubir, memiliki andil bagi berdirinya partai United Malays National Organization (UMNO) pada 11 Mei 1946. Persatuan Bawean Selangor adalah satu dari 29 organisasi pendiri UMNO, partai berbasis dukungan etnis Melayu, pilar paling besar bagi kemenangan Barisan Nasional di Malaysia.
Bawean secara resmi diakui sebagai suku tersendiri di Singapura. Ini berbeda dengan Malaysia, yang memasukkan Bawean ke dalam etnis Melayu. Ada program siaran berbahasa Bawean pada radio pemerintah. Negara kota ini juga mengangkat penerjemah bahasa Bawean di pengadilan. Kebanyakan orang Bawean Singapura tinggal di daerah sekitar Masjid Sultan. Mereka membentuk ikatan kekeluargaan dalam Persatuan Bawean Singapura. Tujuannya melestarikan bahasa dan budaya Bawean di Singapura.
Tidak ada bukti dan dokumen sejarah kapan orang Bawean masuk Malaysia dan Singapura. Sejumlah pendapat menyebutkan orang Bawean bernama Tok Ayar tiba di kawasan Melaka pada 1819—pendapat lain beranggapan tahun 1824. Yang pasti, sebelum 1900, sudah banyak orang Bawean tinggal di Malaka. Generasi awal Bawean ini bertempat tinggal di kawasan bandar dan sekitarnya. Misalnya Kampung Mata Kuching, Klebang Besar, Limbongan, Tengkera, dan sekitar Rumah Sakit Besar Melaka.
Menurut Jacob Vredenbregt, antropolog Universitas Leiden, Belanda, dalam buku Bawean dan Islam (INIS: 1990), migrasi orang Bawean dimulai pada abad ke-19 menggunakan perahu layar. Pada 1876, di Bawean singgah kapal laut milik kongsi orang Cina yang dikelola bangsawan asal Palembang, Kemas Haji Djamaludin bin Kemas Haji Said. Kemas adalah pedagang kain dan bahan pokok. Kapal itu memicu kegiatan merantau orang Bawean. Kemas, kata Vredenbregt, agen perusahaan pelayaran yang melayari jalur Surabaya-Bawean-Banjarmasin-Singapura.
Kemas memperkuat armada kapalnya dan memberikan pinjaman modal atau uang kepada orang Bawean yang akan merantau. Orang rantau ini lalu melunasi pinjamannya setelah tiba di tempat tujuan dan telah mendapatkan pekerjaan. Perang Dunia II pada 1940-an memang mematikan pelayaran kapal yang singgah di Bawean. Meski begitu, jiwa rantau mereka tidak padam. Mereka menggunakan kapal layar berukuran kecil milik orang Madura dan Bugis. Seusai zaman perang, fungsi agen Kemas digantikan oleh nakhoda perahu layar. Perantau Bawean ikut menumpang kapal layar, tapi tidak serta-merta membayar ongkosnya saat itu. ”Mereka mencicil jika telah bekerja di tempat tujuan,” tulis Vredenbregt.
Kita tahu Bawean adalah gabungan tiga kata bahasa Sanskerta: ba (sinar), we (matahari), dan an (ada). Legenda menyebutkan, sekitar 1350 Masehi, sekelompok pelaut Majapahit berlayar di Laut Jawa. Sial, badai mengurung berhari-hari dalam kegelapan. Mereka lalu terdampar di sebuah pulau bersamaan dengan terbitnya fajar pagi. Serempak mereka berujar ”ba we an”—masih ada cahaya matahari.

No comments:

Post a Comment